Kamis, 26 Mei 2011

SURAT-SURAT BERHARGA

Pengertian
Surat berharga adalah surat bernilai uang yang dapat diperjualbelikan atau digunakan sebagai agunan saham dan / atau bukti penyertaan modal.
Sesuatu surat dapat dikatakan surat berharga jika surat – surat tersebut mempunyai nilai, seperti uang tunai dan dapat ditukarkan dengan uang tunai.
Surat berharga adalah surat yang sengaja diterbitkan sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang tetapi tidak dilakukan dengan mata uang, melainkan dengan alat pembayaran lain.
· Jenis – Jenis Surat Berharga
1. Wesel
Wesel adalah surat yang didalamnya, ditanggali dan ditandatangani di suatu tempat, dimana penerbitnya memberi perintah tidak bersyarat kepada tersangkut untuk membayar sejumlah utang pada hari bayar kepada orang yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat tertentu.
2. Surat Cek
Surat cek adalah warkat yang berisi perintah tidak bersyarat kepada bank–bank yang memelihara rekening nasabah untuk membayarkan suatu jumlah uang tertentu kepada orang tertentu atau yang ditunjuk olehnya atau pembawanya.
Ada beberapa jenis cek yaitu :
1. Cek Atas Unjuk / Pembawa (Aan Toonder).
2. Cek Atas Nama (Aan Order).
3. Cek Atas Pembawa.
4. Cek Mundur (Postdated Cheque).
5. Cek Silang (Crossed Cheque).
6. Cek Kosong.
3. Bilyet Giro
Bilyet giro adalah surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindahkan sejumlah dana dari rekening yang bersangkutankepada rekening pemegang yang disebutkan namanya.
4. Surat Sanggup
Surat sanggup adalah surat yang dibuat oleh seorang yang berisikan suatu kesanggupan untuk membayar sejumlah uang pada waktu tertentu.
Perbedaan pokok antara surat sanggup dengan wesel adalah bahwa wesel merupakan surat perintah membayar, sedangkan surat sanggup adalah surat janji / kesanggupan untuk membayar.
5. Commercial Paper
Commercial paper adalah surat sanggup tanpa jaminan berjangka waktu pendek yang diterbitkan oleh perusahaan bukan bank dan diperdagangkan melalui bank atau perusahaan efek dengan sistem diskonto.
6. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU)
Surat Berharga Pasar Uang adalah surat berharga jangka pendek dalam rupiah yang dapat diperjual belikan di pasar uang.
7. Surat Jaminan Bank (Bank Garansi)
Surat jaminan bank (bank garansi) adalah surat jaminan untuk membayar seseorang berdasarkan undang-undang tertentu yang berfungsi sebagai alat pembayaran.
Garansi adalah garansi dalam bentuk warakat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kawajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji. Garansi yang diterbitkan oleh bank berbentuk stanby L/C. bank garansi dapat diberikan dalam bentuk rupiah atau valuta asing.
8. Pihak – Pihak dalam Letter Of Credit
1. Pembeli
2. Penjual
3. Bank Pembuka
4. Bank Penerus
5. Bank Pembayar
6. Confirming Bank
7. Negotiating Bank
8. Remmiting Bank
9. Reimbursing Bank

HUKUM TENTANG ASURANSI

Pengertian
Asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian dimana seorang penanggung dengan menikmati suatu premi menikmati suatu premi mengikatkan dirinya kepada tertanggung untuk membebaskan dari kerugian, karena kehilangan, kerusakan, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, dan yang akan dideritanya karena kejadian yang tidak pasti.
· Unsur-Unsur Asuransi
Unsur – unsur yang terkandung dalam asuransi :
1. Pihak tertanggung
2. Pihak penanggung
3. Suatu peristiwa
4. Kepentingan
· Manfaat Asuransi
Manfaat yang diberikan oleh asuransi bagi tertanggung :
1. Memberikan rasa aman dan perlindungan.
2. Sebagai tabungan dan sumber pendapatan lain.
3. Alat penyebaran resiko.
4. Pendistribusian biaya dan manfaat lain yang lebih adil.
· Dasar Hukum Asuransi
Dasar Hukum Asuransi, yaitu :
1. Pasal 246 sampai pasal 308 KUH Dagang.
2. Pasal 1774 KUH Perdata.
3. Peraturan Perundang-undangan diluar KUH dagang dan KUH Perdata.
· Penggolongan Asuransi
1. Berdasarkan atas perjanjian asuransi dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
a) Asuransi Kerugian
Contoh : Rumah, Mobil
b) Asuransi Jumlah
Contoh : Askes
2. Menurut sifat pelaksanaanya asuransi dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
a) Asuransi Sukarela
b) Asuransi Wajib
c) Asuransi Kredit
Berdasarkan Undang – Undang No 2 Tahun 1992 dapat digolongkan menjadi usaha asuransi dan penunjang :
1. Usaha asuransi terbagi atas :
o Asuransi Kerugian
o Asuransi Jiwa
o Reasuransi
2. Usaha penunjang terbagi atas :
o Pialang Asuransi
o Pialang Reasuransi
o Penilaian Kerugian Asuransi
o Konsultan Aktuvaria
o Agen Asuransi
· Prinsip–Prinsip Asuransi
1. Kepentingan yang Dapat Diasuransikan
2. Indemnitas
3. Asas kejujuran sempurna / itikad baik
4. Subrogasi bagi Penanggung
5. Proxima Causa
6. Kontribusi
· Polis Asuransi
Polis asuransi adalah kontrak tertulis antara maskapai asuransi dan pihak yang dijamin memuat persyaratan ketentuan perjanjian.
Fungsi polis secara umum yaitu :
1. Bukti perjanjian pertanggungan.
2. Bukti jaminan dari penanggung kepada tertanggung.

Sumber : Buku Hukum Dalam Ekonomi, Penerbit: Grasindo, Pengarang: Elsi Kartika Sari,.S.H.,M.H. dan Advendi Simangunsong,.S.H.,M.M.

ANTI MONOPOLI DAN KEPAILITAN

ANTI MONOPOLI DAN KEPAILITAN
· Pengertian
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli. Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penguasaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
Pengertian pailit atau bangkrut menuruk Black’s Law Distionary adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung mengelabuhi pihak kreditornya.
Menurut Pasal 1 butir 1, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim dan pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pasal 1 butir 4, debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
Undang-Undang tentang kapailitan dan penundaan kewajiban ini didasarkan pada asas-asas, antara lain :
1. Asas keseimbangan
2. Asas Kelangsungan usaha
3. Asas Keadilan
4. Asas Integrasi
Undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pambayaran utang merupakan perlindungan bagi kepentingan para kreditor umum / konkuren yang pelunasannya didasarkan pada ketentuan dalam pasal 1131 dan pasal 1132 KUH Perdata, terdapat kelemahan dalam pelunasan utang piutang.
Dengan adanya ketentuan kedua pasal tersebut memungkinkan kreditor-kreditor tidak akan mendapat pelunasan 100%, sehingga dengan adanya undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang akan memberikan keadilan bagi kreditor-kreditor untuk memperoleh hak-haknya dalam pelunasan utang-piutangnya.
Rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana yaitu berisi : barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang tertentu, diancam karena persaingan curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah, bila perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi konkuren-konkuren orang lain itu. Konkuren adalah semua yang berkaitan dengan perdagangan antara lain alat-alat, cara membantu untuk berdagang.
· Kegiatan yang Dilarang
1. Monopoli
2. Monopsoni
3. Penguasaan pasar
4. Persekongkolan
5. Posisi dominan
6. Jabatan rangkap
7. Pemilikan saham
8. Penggabunga, peleburan, dan pengambilalihan
· Perjanjian yang Dilarang
Dalam bisnis telah ditentukan pelarangan para pelaku usaha, antara lain :
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah
4. Pemboikotan
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsoni
8. Integrasi vertical
9. Perjanjian dengan pihak luar negeri
10. Perjanjian tertutup
· Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
2. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alas an untuk kepentingan umum
3. Debitor adalah bank
4. Debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan, hanya diajukan oleh BPPM
5. Debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak dibidang kepentingan public
· Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengurusan Harta Pailit
Dalam penguasaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang terlibat adalah :
1. Hakim pengawas
2. Kurator
3. Panitia kreditor
· Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi persaingan pengawasan usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli atau persaingan tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha.
2. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
3. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi.
4. Melakukan penialian terhadap kegiatan usaha atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya.
5. Melakukan penelitian tentang adanya dugaan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
6. Memanggil dan menghadirkan sanksi, sanksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang.
7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, sanksi, sanksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi.
· Hal-hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli
1. Perjanjian yang dikecualikan
a) Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
b) Perjanjian Internasional
c) Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
d) Perjanjian penetapan standar teknis produk barang atau jasa yang tidak mengekang atau menghalangi persaingan
2. Perjanjian yang dikecualikan
a) Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha
b) Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota
3. Perbuatan atau perjanjian yang diperkecualikan
a) Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b) Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk eksport dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri
· Pencocokan (Verivikasi) Piutang
Pencocokan piutang merupakan salah satu kegiatan yang terpenting dalam proses kepailitan, karena dengan pencocokan piutang ini nantinya ditentukan perimbangan dan urutan hak dari masing-masing kreditor, yang dilakukan paling lambat 14 hari sejak putusan pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap.
· Perdamaian (Accord)
Debitor pailit berhak untuk menawarkan rencana perdamaian kepada kreditornya. Namun apabila, debitor pailit mengejukan rencana perdamaian, batas waktunya paling lambat delapan hari sebelum rapat pencocockan piutang menyediakan di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat dengan Cuma-Cuma oleh setiap orang yang berkepentingan.

Sumber : Buku Hukum Dalam Ekonomi, Penerbit: Grasindo, Pengarang: Elsi Kartika Sari,.S.H.,M.H. dan Advendi Simangunsong,.S.H.,M.M.

Perlindungan Merek

Pemanfaatan merek-merek terkenal pada saat sekarang sudah mulai marak, hal tersebut tidak lain karena menjanjikan keuntungan besar yang akan didapat apabila mempergunakan merek terkenal dari pada menggunakan mereknya sendiri. Apalagi pada saat krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti saat sekarang ini, banyak produsen yang mensiasati dengan cara mengkombinasikan barang-barang bermerek yang asli dengan yang bajakan, karena bajakan tersebut secara fisik benar-benar mirip dengan yang asli.

Produk-produk bermerek (luxrury good) asli tapi palsu (aspal) seperti baju, celana, jaket dan berbagai asesoris lainnya sangat mudah didapat dan ditemukan di kota-kota besar, peredarannyapun meluas mulai dari kaki lima sampai pusat pertokoan bergengsi. Salah satu daya tarik dari produk bermerek palsu memang terletak pada harganya yang sangat murah, sebagai contoh harga satu stel dan celana merek Pierre Cardin yang asli bisa mencapai Rp. 1,5 juta, untuk produk bajakan yang secara fisik sama bisa diperoleh hanya dengan harga Rp. 150.000,- selain itu untuk produk celana Levi’s seri 501 yang asli berharga Rp. 200.000,- sedangkan di kaki lima untuk jenis yang sama bisa dibeli hanya dengan harga Rp. 45.000,-

Banyak alasan mengapa banyak industri memanfaatkan merek merek terkenal untuk produk-produknya, salah satunya adalah agar mudah dijual, selain itu merek tak perlu repot-repot mengurus nomor pendaftaran ke Dirjen HaKI atau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membangun citra produknya (brand image). Mereka tidak perlu repot repot membuat divisi riset dan pengembangan untuk dapat menghasilkan produk yang selalu up to date, karena mereka tinggal menjiplak produk orang lain dan untuk pemasarannya biasanya “Bandar” yang siap untuk menerima produk jiplak tersebut.

Secara ekonomi memang memanfaatkan merek terkenal mendatangkan keuntungan yang cukup besar dan fakta dilapangan membuktikan hal tersebut, selain itu juga didukung oleh daya beli konsumen yang pas-pasan tetapi ingin tampil trendi. Jika dilihat dari sisi hukum hal itu sebenarnya tidak dapat ditolelir lagi karena Negara Indonesia sudah meratifikasi Kovensi Internasional tentang TRIPs dan WTO yang telah diundangkan dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 sesuai dengan kesepakatan internasional bahwa pada tanggal 1 Januari 2000 Indonesia sudah harus menerapakan semua perjanjian-perjanjian yang ada dalam kerangka TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Inculding Trade in Counterfeit Good), penerapan semua ketentuan-ketentuan yang ada dalam TRIPs tersebut adalah merupakan konsekuensi Negara Indonesia sebagai anggota dari WTO (Word Trade Organization).

Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam dunia perdagangan dewasa ini merek adalah merupakan salah satu wujud karya intelektual manusia yang mempunyai peranan yang sangat menentukan karena penggunaan atau pemakaian merek pada perusahaan, tetapi juga mngandung aspek hukum yang luas baik bagi pemilik atau pemegang hak atas merek maupun bagi masyarakat sebagai konsumen yang memakai atau memanfaatkan barang atau jasa dari merek tertentu.

Merek mempunyai peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan dan penanaman modal. Merek dengan bran imagenya dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda atau daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas dari suatu produk, sebab merek (branding) menjadi semacam “penjual awal” bagi suatu produk kepada konsumen. Dalam era persaingan sekarang ini memang tidak dapat lagi dibatas masuknya produk-produk dari luar negeri ke Indonesia karena fenomena tersebut sebetulnya sudah jauh diprediksi oleh Kanichi Ohmae yang menyatakan “bahwa pada masa mendatang dunia tidak lagi bisa dibatasi oleh apapun juga” dan prediksi tersebut saat ini sudah nampak kebenarannya. Merek sebagai aset perusahaan akan dapat menghasilkan keuntungan besar bila didayagunakan dengan memperhatikan aspek bisnis dan pengelolaan manajemen yang baik. Dengan semakin pentingnya peranan merek maka terhadap merek perlu diletakan perlindungan hukum yakni sebagai obyek yang terhadapnya terkait hak hak perseorangan ataupun badan hukum.

Dengan berkembangnya dunia perdagangan yang pesat dan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara, tentunya akan memberikan dampak dibidang perdagangan terutama karena adanya kemajuan di bidang teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi yang mana sebagai bidang tersebut merupakan faktor yang memicu globalisasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

Dalam kenyataan merek terkenal biasanya didahului oleh reputasi dan good will yang melekat pada keterkenalan tersebut. Merek yang mempunyai “good will” yang tinggi akan mampu memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan, meskipun sebetulnya merek adalah sesuatu yang tidak dapat diraba (intangible). Sebuah merek akan menjelma menjadi aset capital semata-mata hanya berdasarkan pada good will, oleh karena itu menurut Lendsford menyebutkan bahwa perusahaan yang telah memiliki reputasi merek yang tinggi (higher reputation) akan memilik aset kekayaan yang luar biasa hanya berdasarkan pada good will dari merek tersebut.

Produk atau jasa yang bermerek saling lebih dahulu diiklankan dan dijual, walaupun produk atau jasa tersebut secara fisik belum tersedia di pasaran Negara tertentu. Media penyebaran dan periklanan modern menjadi semakin tidak di batasi oleh batas-batas nasional mengingat canggihnya komunikasi teknologi dan frekuensi orang bepergian atau mengadakan perjalanan melintas dunia. pemilik produk atau jasa yang bermerek banyak memanfatkan berbagai event-event yang banyak di tonton orang untuk memasarkan merek mereka sehingga orang yang melihat merasa tertarik untuk membeli produk atau meggunakan jasa dari suatu merek yang diiklankan tersebut.

Ditinjau dari aspek hukum masalah merek menjadi sangat penting, sehubungan dengan persoalan perlu adanya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek dan perlindungan hukum terhadap masyarakat sebagai konsumen atas suatu barang atau jasa yang memakai suatu merek agar tidak terkecoh oleh merek-merek lain, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masalah penggunaan merek terkenal oleh pihak yang tidak berhak, masih banyak terjadi di Indonesia dan kenyataan tersebut benar-benar disadari oleh pemerintah, tetapi dalam praktek banyak sekali kendala-kendala sebagaimana dikatakan oleh A Zen Umar Purba (mantan Dirjen HaKI) bahwa Law Enforcement yang lemah. Memang tidak dapat selamanya dijadikan alasan tetapi yang perlu diperhatikan adalah mengapa hal itu bisa terjadi ?. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari sisi historis masyarakat Indonesia yang sejak dahulu adalah masyarakat agraris, sehingga terbiasa segala sesuatunya dikerjakan dan dianggap sebagai milik bersama, bahkan ada anggapan dari para pengusaha home industri bahwa merek adalah mempunyai fungsi sosial. Pada satu sisi keadaan tersebut berdampak positif tetapi pada sisi lain justru yang anggapan demikian itu menyebabakan masyarakat kita sering berpikir kurang ekonomis dan kurang inofatif.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam dunia usaha tujuan utama adalah untuk mencari keuntungan, maka banyak sekali industri yang kurang memahami arti penting hubungan antara pengusaha, konsumen dan masyarakat akan berperilaku “profit oriented” semata tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain tetapi lebih mementingkan kepentingan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan pihak-pihak yang lain dan yang lebih mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut adalah tersedianya konsumen yang menggunakan produk mereka.

Pengusaha yang melihat hal itu sebagai salah satu peluang bisnis maka akan berusaha memperoleh keuntungan melalui jalan pintas yang tidak layak dengan cara membuat atau memasarkan barang atau produk dengan memalsukan atau meniru merek-merek terkenal dan bagi konsumen adalah suatu gengsi tersendiri bila menggunakan merek terkenal tersebut.

Faktor gengsi semu dari konsumen yang merasa bangga menggunakan merek terkenal terutama produk dari luar negeri (label minded) juga sangat mempengaruhi dan sekaligus menguntungkan pemalsuan merek, karena mendapatkan kesempatan untuk memuaskan hasrat mesyarakat melalui merek-merek asli tapi palsu (aspal) atau merek yang mirip dengan merek terkenal, dengan menghasilkan produk yang kerapkali sengaja disesuaikan dengan kemampuan kantong kosong konsumen yang ingin mengenakan merek terkenal tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membelinya sehingga mereka membeli merek-merek asli tapi palsu asalkan tetap bisa gengsi.

Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain secara tidak berhak dapat menyesatkan konsumen terhadap asal-usul, dan atau kualitas barang. Pemakaian merek terkenal secara tidak sah dikualifikasi sebagai pemakaian merek yang beritikad tidak baik.

Penggunaan produk dengan merek-merek tertentu disamping good will yang dimiliki oleh mereknya sendiri selain itu juga sifat fanatik dari konsumen terhadap merek tersebut yang dianggap mempunyai kelebihan atau keunggulan dari merek yang lain. Sifat fanatik yang dimiliki oleh konsumen tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan saja, tetapi ada juga mengutamakan prestise dan memberikan kesan tersendiri dari pemakainya sehingga dengan memakai persepsi mereka adalah suatu “simbol” yang akan menimbulkan gaya hidup baru (life style).

Adanya perbedaan persepsi didalam masyarakat mengenai merek menimbulkan berbagai penafsiran, tetapi meskipun begitu berarti bahwa tindakan orang-orang yang memproduksi suatu barang dengan mendompleng ketenaran milik orang lain tidak bisa dibenarkan begitu saja, karena dengan membiarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab maka secara tidak langsung menghasilkan dan membenarkan seseorang untuk menipu dan memperkaya diri secara tidak jujur.

Tindakan mempergunakan merek terkenal milik orang lain, secara keseluruhan tidak hanya merugikan pemilik atau pemegang merek itu sendiri dan juga para konsumen tetapi dampak yang lebih luas adalah merugikan perekonomian nasional dan yang lebih luas lagi juga merugikan hubungan perekonomian internasional.

Untuk menghindari praktek-praktek yang tidak jujur dan memberikan perlindungan hukum kepada pemilik atau pemegang merek serta konsumen maka Negara mengatur perlindungan merek dalam suatu hukum merek dan selalu disesuaikan dengan perkembangan perkembangan yang terjadi di dunia perdagangan internasional yang tujuannya adalah mengakomodasikan semua kepentingan-kepentingan yang ada guna menciptakan suatu perlindungan hukum.

Pada tahun 1961 Indonesia mempunyai Undang-undang baru mengenai merek perusahaan dan perniagaan LN. No. 290 Tahun 1961. Undang-Undang tersebut disusun secara sederhana hanya berjumlah 24 pasal dan tidak mencantumkan sanksi pidana terhadap pelanggaran merek. Selain itu, asal undang-undang merek tersebut sama dengan undang-undang merek sebelumnya yang ditetapkan oleh Belanda, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi perekonomian dan politik pada saat itu yang masih memprihatinkan. Seiring dengan perkembangan perdagangan dan industri serta sejalan dengan terbukanya sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada saat itu maka sangketa-sangketa merek mulai muncul.

Dengan pesatnya perkembangan dunia perdagangan banyak sengketa-sengketa merek pada saat itu terutama antara pemilik merek terkenal dengan pengusaha lokal, hal tersebut disebabkan karena :

1. Terbukanya sistem ekonomi nasional, sehingga pengusaha nasional dapat mengetahui dan memanfaatkan merek-merek terkenal untuk digunakan dan didaftar lebih dulu di Indonesia demi kepentingan usahanya.
2. Pemilik merek terkenal belum atau tidak mendaftarkan dan menggunakan mereknya di Indonesia.

Banyaknya sengketa merek sampai pada dekade 80-an, maka pada tahun 1987 pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.01-HC.01.01 Tahun 1987 tentang “Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang mempunyai Persamaan dengan Merek Terkenal Orang lain”. Dengan adanya ketentuan tersebut maka banyak sekali pemilik merek terkenal yang mengajukan gugatan pembatalan mereknya dan banyak pula perpanjangan merek yang ditolak oleh kantor merek dikarenakan mempergunakan merek orang lain. Keputusan tersebut kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.03-HC.02.01 untuk lebih memberikan perlindungan terhadap pemilik merek-merek terkenal.

Selama masa berlakunya UU No. 21 Tahun 1961, banyak sekali perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam dunia perdagangan, dimana norma dan tatanan dagang telah berkembang dan berubah dengan cepat, hal tersebut menyebabkan konsepsi yang tertuang dalam Undang-undang merek Tahun 1961 sudah sangat tertinggal jauh sekali. Untuk mengantisipasi perkembangan tersebut maka pemerintah pada waktu itu mengeluarkan UU No. 19 Tahun1992 tentang merek (LN. No.81 Tahun 1992) sebagai pengganti UU No.21 tahun 1961.

Sebagai Negara penandatangan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agrement On Tarif and Trade) dalam putaran Uruguay (Uruguay Round), Indonesia telah meratifikasi paket persetujuan tersebut dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agrement Establishing The World Trade Orgnization). Sejalan dengan itu maka pemerintah membuat kebijakan baru dengan melakukan perubahan dan penyempurnaan UU No. 19 Tahun 1992 dengan UU No. 14 Tahun 1997 dan diubah dan disempurnakan lagi dengan undang undang No. 15 Tahun 2001. Tujuan dari penyempurnaan tersebut tidak lain adalah mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi komitmen internasional mengenal Hak atas Kekayaan Intelektual.

Perubahan atau penyempuarnaan itu pada dasarnya diarahkan untuk menyesuaikan dengan Konvensi Paris (Paris Convention For The Protection Of Industriale Property) pada tahun 1883, selain itu juga disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam persetujuan TRIPs (Trade Releated Aspects Of Intelectual Property Right Including Trade In Counterfeit Goods) atau aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak atas kekayaan Intelektual.

Dalam Undang-undang merek No.15 Tahun 2001 ada perubahan sistem yaitu dari sistem deklaratif (First to use system), menjadi sistem konstitutif (Fist to file frinciple). Selain itu dalam undang-undang tersebut juga memberikan perlindungan terhadap merek-merek terkenal. Meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan, tetapi dalam kenyataannya masih banyak juga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan beritikad tidak baik menggunakan merek terkenal milik orang lain yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan. Dalam hal tersebut maka pihak yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah konsumen, oleh karena itu untuk lebih memberikan perlindungan kepada konsumen telah di undangkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang tentu saja tujuannya untuk kesejahteraan rakyat (konsumen) dan untuk menjamin iklim perdagangan yang jujur dan fair maka telah pula diundangkan UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tetapi dalam undang-undang tersebut masalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual seperti Merek dikecualikan, karena merek adalah hak Eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemegangnya.

KEWIRAUSAHAAN, SEBAGAI SEBUAH NILAI

Dewasa ini, dunia kewirausahaan (kewiraswastaan) tampaknya sudah mulai diminati oleh masyarakat luas. Namun, karena kurangnya informasi, banyak orang merasa masih belum jelas tentang aspek-aspek apa saja yang melingkupi dunia wiraswasta. Sebagian orang beranggapan bahwa kewiraswastaan adalah dunianya kaum pengusaha besar dan mapan,lingkungannya para direktur dan pemilik PT, CV serta berbagai bentuk perusahaan lainnya. Oleh karena itu, kewirawastaan sering dianggap sebagai wacana tentang bagaimana menjadi kaya. Sedang kekayaan itu sendiri seakan-akan merupakan simbol keberhasilan dari kewiraswastaan.
Bukan hanya sebagian masyarakat awam yang berpikir demikian, karena ternyata beberapa lembaga pembinaan kewiraswastaan juga mempunyai persepsi yang mirip dengan itu. Pada beberapa kesempatan, lembaga-lembaga tersebut menampilkan figur tokoh-tokoh sukses yang katanya berhasil menjadi kaya, dengan jalan berwiraswasta. Figur sukses itu antara lain terdiri dari tokoh-tokoh pengusaha besar yang masyarakat mengenalnya sebagai orang-orang terkemuka yang dekat dengan para pejabat pemerintahan.
Terlepas dari siapa tokoh-tokoh sukses dan kaya yang ditampilkan itu, serta bagaimana cara mendapatkan kekayaannya, marilah kita kembali ke inti persoalan : “Benarkah kewiraswastaan merupakan wacana tentang bagaimana caranya untuk menjadi kaya ?”
Kalau bicara sekadar menjadi kaya, tentu semua orang maklum bahwa tidak semua orang kaya adalah pengusaha, sebaliknya tidak semua pengusaha adalah orang kaya. Rata-rata pejabat di Indonesia sudah termasuk orang kaya atau orang berada, apalagi kalau pejabat itu korup. Karyawan-karyawan swasta, terutama para general manager dan direktur juga banyak yang kaya. Bahkan, ada pengemis jalanan berpenghasilan lebih dari Rp. 300.000,- bersih per hari, dan jelas bahwa ia berpotensi untuk menjadi kaya. Dapatkah mereka semua, termasuk para koruptor dan pengemis, menjadi figur panutan dalam wacana kewirausahaan ? Rasanya tidak lah ya..?
Kewiraswastaan atau kewirausahaan sebenarnya bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya. Setidaknya inilah yang dekemukakan oleh para perintis kewiraswastaan di Indonesia sejak 3 dekade yang lalu. Merintis masa depan dengan belajar menjadi pengusaha lebih mirip dengan belajar bagaimana mengemudikan kendaraan. Seorang instruktur pada sebuah sekolah mengemudi mobil pernah berkata pada para siswanya, yang dalam praktek selalu berusaha untuk menjalankan kendaraan dengan kecepatan tinggi : “Keterampilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Karena memacu kecepatan adalah hal yang mudah. Itu hanya soal seberapa dalam kita menginjak pedal gas. Ilmu mengemudi lebih merupakan keterampilan bagaimana menjalankan mobil dari keadaan tidak bergerak, menjadi bergerak dan berjalan dengan stabil, serta bermanuver dengan baik sesuai keadaan, berbelok, maju, mundur, parkir, menanjak, menurun dan lain sebagainya, tanpa membahayakan diri sendiri ataupun orang lain. Kecepatan adalah soal lain..”
Apa yang dikatakan sang instruktur memang benar. Keberhasilan mengemudi bukan dilihat dari seberapa cepat kendaraan dipacu. Demikian pun keadaannya dengan kewiraswastaan. Keberhasilan berwiraswasta tidaklah identik dengan seberapa berhasil seseorang mengumpulkan uang atau harta serta menjadi kaya, karena kekayaan bisa diperoleh dengan berbagai cara, termasuk mencuri, merampok, korupsi, melacur dan lain-lain perbuatan negatif. Sebaliknya kewiraswastaan lebih melihat bagaimana seseorang bisa membentuk, mendirikan serta menjalankan usaha dari sesuatu yang tadinya tidak berbentuk, tidak berjalan bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Seberapa kecil pun ukuran suatu usaha, jika dimulai dengan niat baik, cara-cara yang bersih, keberanian dan kemandirian, sejak dari nol dan kemudian bisa berjalan dengan baik, maka nilai kewiraswastaannya jelas lebih berharga, daripada sebuah perusahaan besar yang dimulai dengan bergelimang fasilitas, penuh kolusi serta sarat dengan keculasan.
Dalam kewiraswastaan, kekayaan menjadi relatif sifatnya. Ia hanya merupakan produk bawaan (by-product) dari sebuah usaha yang berorientasi kearah prestasi. Prestasi kerja manusia yang ingin mengaktualisasikan diri dalam suatu kehidupan mandiri. Ada pengusaha yang sudah amat sukses dan kaya, tapi tidak pernah menampilkan diri sebagai orang yang hidup bermewah-mewah, dan ada juga orang yang sebenarnya belum bisa dikatakan kaya, namun berpenampilan begitu glamor dengan pakaian dan perhiasan yang amat mencolok. Maka soal kekayaan pada akhirnya terpulang kepada masing-masing individu. Keadaan kaya-miskin, sukses-gagal, naik dan jatuh merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan seorang pengusaha, tidak peduli betapapun piawainya dia. Kewiraswastaan hanya menggariskan bahwa seorang wiraswastawan yang baik adalah sosok pengusaha yang tidak sombong pada saat jaya, dan tidak berputus asa pada saat jatuh.
Tidak ada satu suku kata pun dari kata “wiraswasta” yang menunjukkan arti kearah pengejaran uang dan harta benda, tidak pula kata wiraswasta itu menunjuk pada salah satu strata, kasta, tingkatan sosial, golongan ataupun kelompok elit tertentu.
Terkadang orang tidak menyadari bahwa “wiraswasta” tidak sama dengan “swasta” dan “orang swasta” tidak dengan sendirinya merupakan wiraswastawan sejati, meskipun mungkin yang bersangkutan menyatakan diri begitu.. Ini disebabkan “wiraswasta” mengandung kata “wira”, yang mempunyai makna luhurnya budi pekerti, teladan, memiliki karakter yang baik, berjiwa kstaria dan patriotik. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa seorang wiraswastawan sejati selalu memegang etika sebaik-baiknya dalam berbisnis.
Orang swasta yang berhasil mengumpulkan harta berlimpah, tidak dapat dikatakan sebagai wiraswastawan sejati, selama harta yang dikumpulkannya itu didapat dengan jalan yang tidak benar seperti kolusi, memeras, menipu, mafia-isme dan lain-lain aktivitas sejenis.
Saya menemukan bahwa kadang-kadang terjadi salah pengertian tentang istilah “kewiraswastaan” yang merupakan terjemahan dari kata asing “entrepreneurship”. Ada pendapat bahwa kewiraswastaan tidak hanya terjadi dikalangan orang atau perusahaan swasta saja, tetapi juga ada dilingkungan perkoperasian, lingkungan pendidikan bahkan dilingkungan badan-badan usaha milik pemerintah (BUMN). Oleh karenanya, “entrepreneurship” bukan monopoli kelompok perusahaan swasta saja. Maka kemudian timbul istilah “wirausaha” yang dianggap lebih universal dalam penerapannya. Gejala ini berlanjut lebih spesifik lagi dengan munculnya istilah “kewirakoperasian” untuk para aktivis koperasi.
Saya berpendapat, istilah “wiraswasta” tidak hanya menunjuk kepada orang-orang dari kalangan perusahaan swasta. Sebagai istilah yang mewakili kata “entrepreneurship”, penggunaannnya sudah sangat universal, sehingga sebetulnya tidak perlu lagi direvisi. Secara etimologi, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Suparman Sumahamidjaya, arti kata wiraswasta bisa diuraikan lebih kurang sebagai berikut :

wira = luhur, berani, jujur, ksatria.
swa = sendiri.
sta = berdiri.

Jadi, maksud dari kata wiraswasta adalah, mewujudkan aspirasi kehidupan berusaha yang mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang luhur. Lebih spesifiknya, kaum wiraswastawan sejati adalah mereka yang berani memutuskan untuk bersikap, berpikir dan bertindak secara mandiri, mencari nafkah dan berkarir dengan jalan berusaha di atas kemampuan sendiri, dengan cara yang jujur dan adil, jauh dari sifat-sifat keserakahan dan kecurangan.
Definisi di atas tidak membatasi bahwa wiraswastawan harus seorang yang menjalankan perusahaan milik sendiri. Dengan demikian kewiraswastaan berlaku di lingkungan manapun, termasuk koperasi, BUMN, pengusaha kaki lima, makelar bahkan di lingkungan karyawan sekalipun. Sebab apa? Karena kaum profesional yang status formalnya adalah seorang karyawan, pada hakikatnya merupakan seorang wiraswastawan juga, karena mereka bekerja dengan menjual “leadership”, atas dasar kemitraan bisnis yang adil dan saling menguntungkan, dan bukan atas dasar keinginan untuk “menumpang hidup” semata. Para distributor dari sebuah perusahaan multi-level-marketing, sebagaimana agen-agen asuransi, juga merupakan pribadi-pribadi yang berusaha secara mandiri dan mereka berwiraswasta. Beberapa perusahaan yang telah maju ternyata juga didirikan oleh para mantan karyawan yang memiliki naluri kewiraswastaan. Hal ini menguatkan bukti bahwa nilai-nilai kewiraswastaan memang ada dimana-mana. Hanya saja, kewirawastaan ada yang kelihatan secara jelas, ada yang tersembunyi.
Betapa pun saya menyambut baik munculnya berbagai istilah alternatif, karena hal tersebut dengan sendirinya akan memperkaya khasanah kosakata bahasa Indonesia yang masih memerlukan pembinaan-pembinaan lebih jauh. Sebab itu, dalam situs ini akan dipergunakan istilah “wiraswasta” dan “wirausaha” secara silih berganti, agar tidak menimbulkan kejenuhan.
Beberapa aktivitas yang memiliki kandungan nilai kewirausahaan, baik yang jelas maupun yang tersembunyi bisa dicontohkan sebagai berikut :

1). Pengusaha-pengusaha “kantoran” yang menjalankan perusahaan milik sendiri atau bermitra. Baik dari kelas pengusaha besar, menengah ataupun kecil.
2). Pengusaha-pengusaha seperti pedagang kaki lima, warung nasi, restoran, toko klontong, bengkel, salon dan lain-lain.
3). Pengusaha candak kulak, seperti bakul jamu, tukang bakso pikul/grobak, dan lain sebagaiya.
4). Pengurus dan anggota-anggota koperasi.
5). Tokoh-tokoh pemasaran, seperti para direktur dan manajer pemasaran, sales representative, business representative, salesmen/girl door to door.
6). Para distributor multi-level-marketing serta para agen asuransi.
7). Tokoh-tokoh profesi seperti dokter, pengacara, notaris, konsultan yang membuka praktik sendiri, sampai supir taksi.
8). Mereka yang menjalankan bisnis sambilan, tanpa melecehkan pekerjaan utamanya sebagai karyawan.
9). Para karyawan, yang sambil bekerja, berusaha mengumpulkan modal dan belajar untuk mempersiapkan diri menjadi pengusaha nantinya.
10). Para makelar yang jujur.
11). Kaum profesional yang menjual leadership pada perusahaan-perusahaan besar mulai dari yang menjabat sebagai presiden direktur, direktur atau manajer.
12). Pekerja free-lance, instruktur-instruktur aerobik, pelatih olahraga yang bekerja waktu penuh

Perlunya mencegah persaingan tidak sehat

Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) untuk tarif referensi. Katanya, tarif referensi mencegah persaingan tidak sehat. Aneh - karena ilmu organisasi industri dasar jelas menunjuk pada kolusi harga sebagai praktik persaingan tidak sehat

Baik Sekretaris Jenderal (Sekjen) asosiasi maskapai penerbangan nasional, INACA, maupun Menteri Perhubungan, menggunakan “persaingan tidak sehat” sebagai alasan penerapan tarif referensi, atau tarif bawah, maskapai penerbangan (Kompas, 31/5 dan 8/6). Persaingan tidak sehat merugikan konsumen – dan jika benar tarif referensi mencegah persaingan tidak sehat, haruslah diterapkan. Masalahnya, tepatkah alasan ini?

Argumentasi ekonomi mendukung alasan “persaingan tidak sehat” adalah predatory pricing. Predatory pricing adalah strategi “jual-rugi” untuk meraup pangsa pasar sekaligus melemahkan para pesaingnya. Ketika para pesaing melemah atau bangkrut, sang predator menaikkan harga. Konsumen rugi dua kali: pertama, karena berkurangnya pilihan maskapai dan kedua, harga yang tinggi. Oleh yang mendukung alasan ini, strategi jual murah low-budget airlines dianggap predatory pricing.

Predatory pricing atau efisiensi?

Selalukah harga murah berarti predatory pricing? Keputusan tarif referensi tidak diawali dengan pembuktian adanya praktik jual-rugi oleh maskapai yang menawarkan tiket murah. Namun, melihat struktur pasar industri maskapai penerbangan, agaknya tuduhan predatory pricing ini, dari segi ilmu ekonomi, mengada-ada.

Mengapa? Strategi predatory pricing hanya bisa berlaku jika perusahaan pesaing baru sulit muncul dan pesaing yang sudah mati sulit bangkit lagi dalam industri tersebut. Jika tidak, ini adalah strategi “bunuh diri”: kalau pesaing baru mudah muncul, atau pesaing lama mudah bangkit lagi, sang predator perlu terus menerapkan harga “jual-rugi”. Semakin lama “jual-rugi” dilakukan, semakin dekatlah perusahaan pada kebangkrutan.

Kenyataannya, menjamurnya maskapai yang menjual tiket murah empat tahun terakhir, dari 4 menjadi sekitar 15, menunjukkan tingginya pertumbuhan pesaing baru. Seorang rekan ekonom yang baru saja melakukan studi struktur industri maskapai penerbangan di negara-negara Asia Tenggara, setuju. Bisnis maskapai, katanya, butuh biaya awal (set-up cost) yang relatif kecil. Maka, agaknya sulit mendukung argumentasi predatory pricing dalam industri maskapai nasional.

Nah, jika demikian, kok tiket bisa murah? Penjelasan yang mungkin adalah efisiensi. Efisiensi dilakukan, misalnya, dengan mengurangi pelayanan (tidak adanya makanan maupun nomor kursi), perbaikan teknologi (paperless ticket, teknologi penjadwalan), dan lainnya. Teknologi memungkinkan subsidi silang dari satu rute ke rute yang lain, sehingga ada tiket yang kelihatan amat murah. Konsumenlah yang diuntungkan.

Tidak sehatnya tarif referensi

Dari telaah strukur pasarnya, argumentasi predatory pricing tidak meyakinkan. Buruknya lagi, tarif referensi justru mendorong persaingan tidak sehat lewat strategi klasik asosiasi: kolusi harga.

Secara teori, kolusi harga adalah bentuk kerjasama antarperusahaan (dalam oligopoli) menentukan harga untuk memaksimalkan keuntungan industri. Harga yang dipatok lewat kolusi ini pasti lebih tinggi daripada harga yang muncul dari mekanisme pasar. Yang harus membayar harga tinggi tersebut? Konsumen. Karena itu, kolusi harga adalah “subsidi” konsumen kepada produsen.

Umumnya, kolusi sulit terjadi dengan sendirinya. Perusahaan yang lebih efisien akan menjual lebih murah daripada harga yang ditentukan, dengan harapan menguasai pasar. Oleh karena itulah, kolusi hanya mungkin jika difasilitasi sebuah institusi untuk memaksa perusahaan mengikuti harga yang ditentukan. Institusi yang ideal untuk ini? Pemerintah tentunya.

Maka, tak heran jika asosiasi gigih melobi pemerintah untuk menerapkan tarif referensi. Lewat tarif referensi, pemerintah memajaki konsumen demi keuntungan produsen. Peraturan Menteri (Permen) untuk tarif referensi mencerminkan dukungan pemerintah atas praktik kolusi harga, sebuah praktik persaingan tidak sehat. Maka wajarlah jika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) keberatan atas keputusan tarif referensi.

Selain itu, tak terelakkan bahwa penentuan harga dilakukan melalui negosiasi. Negosiasi adalah proses politik yang lebih didasarkan pada kekuatan tawar pihak-pihak yang terlibat, bukan efisiensi maupun kepentingan konsumen. Walaupun Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) maupun KPPU ikut memantau, pada ujungnya proses ini adalah antara pemerintah dan produsen. Mudah diterka, kepentingan siapa yang akan diperjuangkan.

Pemerintah pro-pengusaha?

Saya sempat kaget membaca jawaban Menteri Perhubungan tentang peran pemerintah: “Pemerintah punya kewajiban untuk menyelamatkan industri penerbangan” (Kompas, 31/5). Bukankah peran pemerintah adalah melindungi kepentingan rakyat, dan bukan pengusaha dan industri? Dan dalam kasus ini, kepentingan rakyat adalah untuk mendapatkan pelayanan perhubungan udara yang aman, berkualitas, dan murah.

Perang harga memang perlu diwaspadai, apalagi jika standar keamanan yang jadi korban. Namun, tidak ada hubungan serta-merta antara harga dan standar keamanan. Harga tinggi tidak menjamin keamanan. Perusahaan yang serakah dapat saja menerapkan harga tinggi namun tetap mengabaikan standar keamanan. Begitu pula, harga rendah tidak harus berarti tidak aman.

Untuk memastikan, memang perlu dilakukan audit standar keamanan yang ketat pada semua maskapai – bukan hanya pada sebagian. Anehnya, aturan tarif referensi mewajibkan audit hanya pada maskapai yang memberikan harga murah. Hasilnya jelas: Maskapai yang mampu memberikan harga murah terpaksa “pura-pura” mahal untuk terhindar dari audit. Ini tidak sehat untuk persaingan, dan untuk konsumen.

Maka, amat tepat apa yang dikatakan Sekjen INACA: persaingan tidak sehat harus dicegah. Ironisnya, justru ini yang diciptakan pemerintah lewat tarif referensi. Karena perjuangan lewat pemerintah buntu sudah, sudah waktunya para wakil rakyat di DPR turun tangan. Peran DPR ini akan menentukan sejauh mana kepentingan rakyat banyak menjadi pertimbangan dalam penentuan kebijakan di Indonesia.

Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.

2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.

3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.

Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)

Selain dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
Sistem Alternatif Yang Dikembangkan
a). Sistem Mediation

Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator (penengah). Dari pengertian di atas, mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Pada mediasi, para pihak yang bersengketa, datang bersama secara pribadi. Saling berhadapan antara yang satu dengan yang lain. Para pihak berhadapan dengan mediator sebagai pihak ketiga yang netral. Peran dan fungsi mediator, membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara para pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Sebab kalau timbul gejala yang seperti itu, para pihak akan terjebak pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way).

Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan asas mediasi:
1. bertujuan mencapai kompromi yang maksimal,
2. pada kompromi, para pihak sama-sama menang atau win-win,
3. oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang mutlak.
Manfaat yang paling mennjol, antara lain:
1. Penyelesaian cepat terwujud (quick). Rata-rata kompromi di antara pihak sudah dapat terwujud dalam satu minggu atau paling lama satu atau dua bulan. Proses pencapaian kompromi, terkadang hanya memerlukan dua atau tiga kali pertemuan di antara pihak yang bersengketa.
2. Biaya Murah (inexpensive). Pada umumnya mediator tidak dibayar. Jika dibayarpun, tidak mahal. Biaya administrasi juga kecil. Tidak perlu didampingi pengacara, meskipun hal itu tidak tertutup kemungkinannya. Itu sebabnya proses mediasi dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
3. Bersifat Rahasia (confidential). Segala sesuatu yang diutarakan para pihak dalam proses pengajuan pendapat yang mereka sampaikan kepada mediator, semuanya bersifat tertutup. Tidak terbuka untuk umum seperti halnya dalam proses pemeriksaan pengadilan (there is no public docket). Juga tidak ada peliputan oleh wartawan (no press coverage).
4. Bersifat Fair dengan Metode Kompromi. Hasil kompromi yang dicapai merupakan penyelesaian yang mereka jalin sendiri, berdasar kepentingan masing-masing tetapi kedua belah pihak sama-sama berpijak di atas landasan prinsip saling memberi keuntungan kepada kedua belah pihak. Mereka tidak terikat mengikuti preseden hukum yang ada. Tidak perlu mengikuti formalitas hukum acara yang dipergunakan pengadilan. Metode penyelesaian bersifat pendekatan mencapai kompromi. Tidak perlu saling menyodorkan pembuktian. Penyelesaian dilakukan secara: (a) informal, (b) fleksibel, (c) memberi kebebasan penuh kepada para pihak mengajukan proposal yang diinginkan.
5. Hubungan kedua belah pihak kooperatif. Dengan mediasi, hubungan para pihak sejak awal sampai masa selanjutnya, dibina diatas dasar hubungan kerjasama (cooperation) dalam menyelesaikan sengketa. Sejak semula para pihak harus melemparkan jauh-jauh sifat dan sikap permusuhan (antagonistic). Lain halnya berperkara di pengadilan. Sejak semula para pihak berada pada dua sisi yang saling berhantam dan bermusuhan. Apabila perkara telah selesai, dendam kesumat terus membara dalam dada mereka.
6. Hasil yang dicapai WIN-WIN. Oleh karena penyelesaian yang diwujudkan berupa kompromi yang disepakati para pihak, kedua belah pihak sama-sama menang. Tidak ada yang kalah (lose) tidak ada yang menang (win), tetapi win-win for the beneficial of all. Lain halnya penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pasti ada yang kalah dan menang. Yang menang merasa berada di atas angin, dan yang kalah merasa terbenam diinjak-injak pengadilan dan pihak yang menang.
7. Tidak Emosional. Oleh karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi, masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki. Tidak saling membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Dengan demikian proses penyelesaian tidak ditunggangi emosi.

b). Sistem Minitrial

Sistem yang lain hampir sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis, masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition

Konsolidasi (conciliation), dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau majelis pendamai,
2. setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.

Lain halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.

Di negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2. kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3. ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui kosolidasi,
4. keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.

Biasanya lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan:
1. sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa bisnis,
2. hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan atau award (verdict),
3. oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan,
4. dengan demikian, walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d). Sistem Adjudication

Sistem Adjudication merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.

Secara harafiah, pengertian “ajuddication” adalah putusan. Dan memang demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka:
1. orang yang diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator
2. dan dia berperan dan berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge),
3. oleh karena itu, dia diberi hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.

Proses penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa:
1. para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication,
2. berdasar persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional,
3. dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party),
4. sebelum mengambil keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e). Sistem Arbitrase

Mengenai arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.

Di Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti:
1. sederhana dan cepat (informal dan quick),
2. prinsip konfidensial,
3. diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari: (a) Biaya administrasi (b) Honor arbitrator. (c) Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator (d) Biaya saksi dan ahli. Komponen biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact and law).

prospek perbankan islam

II. Prospek Perbankan Islam di Indonesia
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman. Dalam Islam tidak diperbolehkan adanya dana yang mengendap atau tidak produktif. Sehingga konsep perbankan syariah, yaitu bagaimana dana semua bisa produktif membangun ekonomi masyarakat.
Sementara itu, LPPS terakhir perbankan Syariah tahun 2006 Bank Indonesia Selama tahun 2006 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami peningkatan, yaitu masing-masing sebanyak 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 13 BPRS. Secara industri pada akhir 2005 terdapat 3 Bank Umum Syariah (BUS), 20 UUS dan 105 BPRS. Sejalan peningkatan tersebut, jaringan kantor bank syariah (termasuk kantor kas, kantor cabang pembantu dan Unit Pelayanan Syariah) juga mengalami peningkatan sebanyak 40 kantor sehingga menjadi 636 kantor pada akhir tahun 2006. Kinerja Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Selama tahun 2006 industri perbankan syariah mengalami peningkatan volume usaha sebesar Rp5,8 triliun sehingga pada akhir periode laporan mencapai Rp26,7 triliun. Peningkatan tersebut memperbesar pangsa aset perbankan syariah terhadap total asset perbankan nasional dari 1,4% pada akhir tahun 2005 menjadi 1,6% pada akhir 2006.(Bank Indonesia.2006.LPPS Perbankan Syariah)
Sementara dari sisi aset, menurut Deputi Bank Indonesia Siti Fadjrijah, perbankan syariah mengalami kenaikan menjadi Rp 29,2 triliun (1,69 persen dari total aset industri perbankan) jika dibandingkan akhir 2006 yang berjumlah Rp 26,7 triliun (1,55 persen dari total aset industri perbankan). Untuk dana pihak ketiga (DPK), posisi Juni 2007 adalah sebesar Rp 22,71 triliun, meningkat dibandingkan akhir 2006 yang sebesar Rp 20,67 triliun. Pembiayaan atau kredit per Juni 2006 adalah sebesar Rp 22,97 triliun, naik dibandingkan akhir 2006 yang sebesar Rp 20,44 triliun. Sedangkan untuk FDR (Financing to Deposit Ratio/LDR) per Juni 2007 adalah 101,1 persen, naik dari posisi akhir 2006 yang sebesar 98,9 persen. BI menargetkan pada 2007 ini total aset perbankan syariah tumbuh menjadi 2,8 persen dari total aset industri perbankan. Serta pada tahun 2008 mencapai 5 persen dan akan tumbuh pada 2015 menjadi 15 persen.
Ini menandakan perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah sesuatu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Perlu adanya perhatian dari semua pihak, bahwa prospek perbankan syariah akan mampu memberikan nilai (value) yang besar kepada perekonomian nasional.

sejarah perbankan islam

Pembahasan
I. Sejarah Perbankan Islam
a. Sejarah perbankan Islam di Dunia
Istilah Perbankan Islam atau Perbankan Syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern, kemunculannya seiring dengan upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam mendukung ekonomi Islam yang diyakini akan mampu mengganti dan memperbaiki sistem ekonomi konvensional yang berbasis pada bunga. Karena itulah sistem Perbankan Syari’ah menerapkan sistem bebas bunga (interest free) dalam operasionalnya, dan karena itu rumusan yang paling lazim untuk mendefinisikan Perbankan Syari’ah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam, dengan mengacu kepada Al Quran dan As Sunnah sebagai landasan dasar hukum dan operasional.
Konsep teoritis mengenai Perbankan Islam muncul pertama kali, menurut dalam bukunya Sultan Remy Sjahadeini bahwa pemikiran dari para penulis yang mula-mula menyampaikan gagasan mengenai perbankan Syari’ah adalah Anwar Iqbal Qureshi, Naiem Siddiqi, dan Mahmmud Ahmad. Kemudian uraian yang lebih rinci tentang gagasan ini ditulis oleh Al Maududi (1950). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul A Groundwork for Interest Free Bank.
Pemikiran yang sudah muncul pada tahun 50-an tidak langsung memberikan jalan yang lapang bagi perbankan Islam. Tahun 1960-an, bank Syari’ah hanya menjadi diskursus teoritis. Belum ada langkah konkrit yang memungkinkan implementasi praktis gagasan tersebut. Padahal, telah muncul kesadaran bahwa bank Syari’ah merupakan solusi masalah ekonomi untuk menghasilkan kesejahteraan sosial di negara-negara Islam.
Hingga pada tahun 1963 dari sudut kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil. Sedang Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Karena mesir telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Pada perjalanannya sistem perbankan berbasis Syariah, semakin hari semakin populer bukan hanya di negara-negara Islam tetapi juga negara-negara barat, yang ditandai dengan makin suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syariah. Perkembangan perbankan syariah atau perbankan dengan konsep bagi hasil menandakan konsep syariah dalam pengelolaan kekayaan/ uang diterima kebiasaan umat manusia secara universal, karena jelas-jelas konsep riba atau bunga dalam Islam sangat dilarang dan bertentangan dengan konsep kemanusiaan.

b. Sejarah Perbankan Islam di Indonesia
Sebagaimana perkembangan pemikiran perbankan syariah di dunia khususnya –Negara-negara Islam, Indonesia ikut kena imbas dari tuntutan pemikiran cendikia-cendikia muslim Indonesia.
Indonesia sebagai Negara mayoritas berpenduduk muslim terbesar didunia muncul pemikiran tentang perlunya menerapkan perbankan berbasis syariah yang muncul pada 1974. munculnya gagasan pemikiran perbankan berbasis syari’ah dalam sebuah seminar Hubungan Indonesia-Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK). Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendekiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan yang melelahkan mengenai hukum bunga Bank dan hukum zakat vs pajak di kalangan para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim.
Perbedaan dan perdebatan dikalangan para cendikiawan atau ulama’ sangat luar biasa, perbedaan pandangan di kalangan ulama Indonesia mengenai bunga yang secara garis besar terbagi pada tiga kelompok yaitu; kelompok yang menghalalkan, kelompok yang mengatakan syubhat dan kelompok yang mengharamkan. Hal ini sangat menentukan respon masyarakat terhadap bank Syariah. Umar Syihab, salah seorang ulama NU (Nahdatul Ulama) sebagai representasi ulama berpendapat bahwa bunga bank adalah halal, didasarkan pendapatnya pada beberapa alasan. Pertama, jumlah bunga uang yang dipungut dan diberikan oleh bank kepada nasabah jauh lebih kecil dibandingkan dengan riba yang diberlakukan di jaman jahiliyah. Kedua, pemungut bunga bank tidak membuat bank itu sendiri dan nasabahnya memperoleh keuntungan besar atau sebaliknya tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga. Ketiga, tujuan pengambilan kredit dari debitor pada jaman jahiliyah adalah untuk konsumsi, sementara pada saat ini bertujuan produktif. Keempat, adanya kerelaan antara kedua belah pihak yang bertransaksi sebagaimana halnya kebolehan dalam jual-beli dengan asas kerelaan.
Adapun pendapat Majelas Tarjih Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar kedua di Indonesia memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara kepada nasabahnya, atau sebaliknya selama berlaku termasuk ke dalam perkara syubhat. Akan tetapi dari faktor tersebut, hanya menyinggung bunga bank yang diberikan oleh bank negara, dengan menyatakan bahwa bunga yang diberikan oleh negara diperbolehkan, karena bunga yang diberikan masih tergolong rendah, jika dibandingkan dengan bunga pada bank swasta.
Organisasi Nahdatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, di samping Muhammadiyah, memutuskan masalah bunga bank tersebut dengan beberapa kali sidang, dengan terjadinya polarisasi pendapat pada tiga kelompok yaitu, haram, halal, dan Syubhat. Namun, meskipun terdapat perbedaan pandangan, Lajnah Bahsul Masa’il memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, yakni bunga bank haram.
Adanya perbedaan dikalangan umat Islam tidak menyurutkan munculnya perbankan syariah di Indonesia, rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang diikuti oleh berdirinya BPRS-BPRS lainnya dan terbuktinya perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum membangun perbankan berbasis syariah.

Integrasi Layanan Suara Berbasis Internet Protokol (Voice over IP) pada Jaringan INHERENT

oleh : Agus Awaludin, Riri Fitri Sari, Adhi Yuniarto

Infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) merupakan tulang-punggung
mempengaruhi arah perkembangan perguruan tinggi di masa depan. Kesiapan
perguruan tinggi menuju "World Class University" merupakan keharusan guna
menghadapi persaingan global dibidang layanan pendidikan. Salah satu sifat dari
perguruan tinggi masa depan adalah bentuk pengajaran yang bersifat
"kapanpun,dimanapun" yang melengkapi pola pengajaran konvensional "Brick and
Chalk". Jaringan perguruan tinggi dan penelitian di Indonesia (INHERENT)
memfasilitasi kemungkinan dibangunnya kekuatan pendidikan nasional yang sinergi.
Tiap universitas dapat membangun dan menonjolkan kemampuan dan ciri khas-nya
yang kemudian sumber-daya ini dapat digunakan secara nasional melalui infrastruktur
TIK yang terintegrasi diantara perguruan tinggi. Perhatian khusus difokuskan pada
infrastruktur TIK yang memfasilitasi layanan-layanan bagi civitas akademik di perguruan
tinggi, kemungkinan penggunaaan nomor elektronik dan rancangan infrastruktur yang
memungkinkan adanya layanan nomor elektronik yang unik. Pada proposal ini
disampaikan usulan implementasi pengembangan penomoran fasilitas voice over IP
bagi institusi peserta INHERENT.

“KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) FENOMENA GLOBAL: Suatu Kajian Aspek Hukum”

dapat disimpulkan, bahwa :

1. Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling
membutuhkan.
2. dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan.

Saran :
Pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi negara kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga dapat memperoleh manfaat keuntungan yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi perahan negara maju/investor asing dalam program KEK. Dan hendaknya program KEK juga jangan hanya sekedar program proyek mercusuar bagi rezim pemerintahan yang sedang berkuasa, tapi harusnya benar-benar dijadikan program yang menjadi kebutuhan pembangunan nasinonal, sehingga kalaupun nantinya terjadi pergantian rezim pemerintahan di Indonesia, program KEK tetap dapat dilanjutkan dan dikembangkan oleh rezim pemerintahan yang baru.

Asas-Asas Perjanjian ( Akad ) dalam Hukum Kontrak Syariah Dari Jurnal yang berjudul “Asas-Asas Perjanjian (Akad)dalam Hukum Kontrak Syari’ah”

saya dapat menarik kesimpulan, bahwa :

1. Perkembangan ekonomi berbasis syariah sedang berkembang pesat dalam dunia perekonomian khususnya perbankan, namun belum diimbangi dengan sosialisai ke masyarakat, sehingga masyarakat belum banyak yang tahu secara lengkap.

2. Saya pernah mengikuti seminar tentang perbankan syariah beberapa waktu lalu, dan disana beberapa pakar ahli mengatakan bahwa perbankan syariah masih sangat kekurangan sumber daya manusia atau dengan kata lain pegawai dalam bidang syariah. Menurut saya, hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisai tentang perekonomian syariah dan sulitnya mendapatkan informasi tentang hal tersebut. Belum banyak universitas yang memiliki jurusan tentang ‘perbankan syariah’, setau saya hanya ada beberapa universitas yang memiliki jurusan tersebut dan belum terakreditasi baik. Tentu saja hal ini sangat disayangkan mengingat perkembangan yang cukup pesat dan mejanjikan dalam perekonomian syariah.
3. Banyaknya asas dalam hukum kontrak syariah, menurut saya justru itulah yang menjadi bagian “istimewa” yang membedakan perbankan syariah dan konvensional. Contohnya dalam Asas Kepastian Hukum, di dalam asas ini tidak hanya mengandung dasar syariah dalam Islam namun mengandung pasal dalam Undang-Undang. Hal ini membuktikan bahwa syariah dengan hukum saling berkesinambungan.

Saran :
1. Para ahli lebih mensosialisasikan tentang perekonomian syariah.
2. Perbanyak universitas yang membuka jurusan perbankan syariah.

Aspek Hukum dam Peraturan Pendukung Perbankan Syariah

b. Peraturan Pendukung Perbankan Syariah di Indonesia

Keberadaan UU nomor 10/1998 tentang perbankan dan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia menjadi landasan utama penunjang perbankan syariah di Indonesia saat ini, dengan berbagai kelemahan dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, ditambah lagi yang menjadi persoalan sekarang adalah peraturan pendukung terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Tanpa adanya peraturan pendukung terhadap alat-alat dari transaksi perbankan syariah akan memenuhi kesulitan bahkan bisa fatal. Peraturan pendukung perbankan syariah dimaksud adalah tentang peraturan BI tentang operasional perbankan syariah, Obligasi, Pasar Modal, Hukum Perdata dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.

Pertama, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) mengamanatkan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah yang masih berada dalam tahap awal pengembangan, beberapa hal penting yang perlu mendapatkan perhatian oleh BI antara lain: Kerangka dan perangkat pengaturan Operasional perbankan syariah belum lengkap; Pengaturan Cakupan pasar masih terbatas; Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif; Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal; perlu adanya aturan sistem bagi hasil dan transaksi dalam perbankan syariah serta aturan investasi asing di perbankan syariah (sebelum adanya UU atau PP Investasi di bidang perbankan syariah. Peran ini dirasa kurang dari Bank Indonesia, masih banyak yang harus diperhatikan oleh Bank Indonesia terkait pembuatan peraturan atau aturan main perbankan di Indonesia, sehingga posisi perbankan syariah dan konvensional berada dalam satu tingkatan yang sama.

Bank Indonesia sebagai Bank central Indonesia dengan hak dan otoritas yang dimiliki mestinya lebih leluasa membuat suatu kebijakan yang lebih komprehensif terkait dengan kebijakan perkembangan perbankan syariah. Peran bank Indonesia sungguh luar biasa kalau melihat amanah yang diberikan oleh UU. 23 Tahun 1999, sekarang tinggal bagaimana BI mamainkan perannya ke depan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia.

Kedua, Terkait dengan surat-surat berharga atau surat utang negara (SUN) di Indonesia yang berdasar syariah belum diatur sehingga dalam pelaksanaannya akan memenuhi banyak rintangan dan berdampak kepada pemahaman investasi dari aspek syariah pada sisi yang berbeda.

Pada tahun 2006 saja negara-negara Timur Tengah (Timteng) menawarkan dana hingga 8 miliar dolar AS, atau setara dengan Rp 71 triliun, untuk membeli obligasi syariah atau Sukuk Indonesia. Dana dari hasil penerbitan Sukuk itu nantinya digunakan membiayai proyek- proyek kelistrikan. Negara kaya raya dari Timur tengah kini memiliki dana yang melimpah ruah akibat tingginya harga minyak dunia. Di tengah limpahan duit, negara-negara Timteng itu kelimpungan mencari tempat investasi. Sebab sampai sekarang beberapa negara di Eropa dan Amerika menutup diri akibat peristiwa pengeboman menara kembar WTC, atau peristiwa yang dikenal dengan sebutan 9/11. Sebagai pengganti, negara-negara Timteng membidik Asia, termasuk Indonesia untuk menempatkan dana-dananya tersebut.

Kalau kita lihat UU No 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara/ obligasi kalau dipakai landasan obligasi syariah maka akan rancu, karena dalam UU tersebut masih banyak kata-kata secara tidak langsung berkaitan dengan bunga yang sangat bertentangan dengan konsep syariah atau riba. Sehingga dalam kenyataannya obligasi korporasi dengan prinsip syariah telah mencapai belasan (14 sampai saat ini, 6 mudharabah dan 8 ijarah). Contoh kasus, Obligasi Syariah Indosat tidak mempunyai acuan hukum positif seperti UU atau peraturan Bapepam yang menjadi naungannya. Sebagai gantinya Obligasi Syariah Indosat bernaung di bawah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No 32 tentang Obligasi Syariah dan No 33 tentang Obligasi Syariah Mudharabah. Kasus lainnya, Obligasi korporasi dengan prinsip syariah yang sesudahnya juga dapat bernaung di bawah Fatwa DSN MUI No 41 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi Syariah dalam fatwa-fatwa yang telah disebutkan mengalami redefinisi sebagai Surat Berharga Jangka Panjang berdasarkan prinsip syariah sehingga dapat diperjual belikan.

Berangkat dari kasus-kasus ini, kalau dilihat dari kaca mata hukum dan peradilan, maka hal ini cukup meragukan, sehingga untuk memberikan kekuatan hukum sesuai dengan sistem hukum di Indonesia maka perlu adanya UU tersendiri mengenai obligasi syariah, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor dan lainnya.
Ketiga, mengenai perangkat pendukung perbankan syariah sebagaimana perbankan konvensional, maka perlu diatur perdagangan saham perbankan syariah yaitu pasar modal berprinsip syariah.

Kegiatan Pasar Modal di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1995 (“UUPM”). Pasal 1 butir 13 UU 8/95 menyatakan bahwa “Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan Perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”. Sedangkan Efek, dalam UUPM Pasal 1 butir 5 dinyatakan sebagai: “surat berharga yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak kegiatan berjangka atas Efek dan setiap derivatif Efek”.
UU No. 8 Tahun 1995 ini tidak membedakan apakah kegiatan Pasar Modal tersebut dilakukan berdasarkan prisnip-prisnip syariah atau tidak. Dengan demikian, berdasarkan UUPM kegiatan Pasar Modal di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan dapat pula dilakukan tidak sesuai dengan prinsip syariah.( KarimSyah Law Firm, 2005. Perlunya Peraturan Perundang-undangan Mengenai Pasar Modal Berdasarkan Syariah. Jakarta) Sehingga dalam pelaksanaannya bagi perbankan syariah akan memberikan ketidak pastian apakah sesuai dengan prinsip syariah atau tidak. Maka dari itu, perlu sekiranya pembuatan perangkat hukum terkait dengan keberadaan pasar modal syariah untuk mendukung perjalanan perbankan syariah.

Keempat, Sebelum adanya amandemen terhadap UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama menjadi kendala hukum di Indonesia, kewenangan mengadili sengketa perbankan Islam ada ditangan Pengadilan Negeri, sedang pengadilan negeri tidak menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara. Dan kita tahu wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syariah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan/atau berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, badan ini dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI, yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan MUI. Tapi saying sampai sebelum UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama diamandemen, badan tersebut belum bekerja dan sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dengan keluarnya UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-indangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.

Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi : a. Bank syariah, 2.Lembaga keuangan mikro syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasurasi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g. sekuritas syariah, h. Pembiayaan syari’ah, i. Pegadaian syari’ah, j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Namun, wewenang yang dimiliki oleh pengadilan tersebut, tidak akan berjalan sesuai harapan konsep syariah tanpa didukung oleh perangkat peraturan yang komprehensif dari hukum perdata di Indonesia, karena perangkat hukum yang digunakan adalah kitab Undang-undang hukum perdata (KUHPer) yang notabene belum bersusuaian dengan hukum perdata Islam.

Untuk itu perlu adanya hukum perdata Islam (syariah) yang akan mengatur sengketa perdata dalam perbankan syariah. Hal ini dirasa sangat penting untuk menghindari adanya ambiguitas hukum, disatu sisi konsep syariah diterapkan dalam perbankan syariah, tapi disisi lain penyelesaian perkara terkait perbankan syariah dilakukan berdasar hukum yang notabene peninggalan belanda.

c. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Malaysia.
Dari beberapa uraian tentang aspek hukum perbankan syariah di Indonesia, alangkah akan lebih menambah wawasan hukum perbankan syariah di Indonesia apabila kita mencoba melihat aspek hukum perbankan syariah di Malaysia
Struktur regulasi yang mengatur perbankan syariah di Malaysia cukup menarik untuk dicermati, karena mengawinkan sistem hukum common law dengan sistem hukum Islam secara komperehensif. Malaysia telah menyiapkan berbagai legal frame work bagi perkembangan perbankan syariah secara komperehensif, selain diatur secara mandiri perbankan syariah telah didukung oleh instrumen pasar modal syariah, asuransi syariah serta berbagai infrastruktur hukum syariah yang lainnya. Malaysia melakukan pemisahan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan syariah dari sistem perbankan konvensional secara bertahap dan dari satu sisi ke sisi yang lain. Pemisahan tersebut dimulai dengan dikeluarkannya Islamic Bank Act (IBA) yang berlaku pada 7 April 1983, pada undang-undang tersebut Bank Negara Malaysia diberikan kekuasaan untuk melakukan supervisi kepada bank syariah. Sisi lain yang digarap adalah pengaturan mengenai investasi yang dilakukan dengan mengundangkan Government Investment Act 1983, pada saat tersebut pemerintah Malaysia mengeluarkan Government Investment Issue (GII), yaitu surat berharga pemerintah yang dikelola menggunakan prinsip-prinsip Syariah. Dalam hal ini GII dianggap sama dengan aset lancar, Bank Islam dapat melakukan penanaman modal pada GII agar mendapatkan bantuan pinjaman likuiditas dari pemerintah.
Perkembangan sistem perbankan ganda di Malaysia berlangsung dalam dua tahapan besar. Tahapan pertama berlangsung pada tahun 1990, pada tahapan ini perbankan konvensional dan perbankan syariah berjalan secara beriringaan dengan mekanisme pasar yang lebih terbuka. Tahap kedua berlangsung sejak tahun 2001, dimana perbankan syariah menjadi bahan utama dari bangunan keuangan nasional Malaysia. Perbankan syariah di Malaysia berkembang maju dan komperehensif sehingga dapat menyumbang pemasukan nasional secara kualitatif dan kuantitatif guna memenuhi kebutuhan ekonomi negara.
Adanya peraturan yang terpisah di Malaysia baik mengenai perbankan syariah, obligasi syariah, pasar modal syariah serta infrastruktur atau perangkat pendukung berupa peraturan yang terkait dengan operasional perbankan syariah oleh bank central Malaysia memberikan landasan yang kuat dalam perjalanan perbankan syariah di Malaysia.

Aspek hukum dan peraturan pendukung perbankan syariah (kesimpulan)

a. Kesimpulan

Dari beberapa uraian diatas : mengenai Sejarah perbankan di dunia dan Indonesia, Prospek perbankan syariah di Indonesia, Aspek hukum dan peraturan pendukung perbankan syariah di Indonesia serta perbandingan hukum syariah di Malaysia, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut :
1. Prospek perbankan syariah sangat menjanjikan di Indonesia untuk ikut memberikan kontribusi kepada perekonomian bangsa dan negara.
2. Perlu adanya peraturan perbankan syariah yang mandiri yang akan lebih komprehensif dalam pengaturannya.
3. Perlu adanya keberanian BI Indonesia untuk membuat terobosan baru dan super visi mengenai perbankan syariah dengan pembuatan kebijakan-kebijakan terkait perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
4. Perlu adanya peratuarn pendukung mandiri/ tersendiri terkait perkembangan perbankan syariah seperti : obligasi syariah, pasar modal syariah dan perdata syariah.

b. Saran
Berangkat dari kesimpulan diatas, maka penulis sekiranya perlu memberikan saran, sebagai berikut :

1. Karena prospek perbankan syariah sungguh luar biasa di Indonesia, maka perlu kiranya semua eleman masyarakat dan Negara untuk ikut memberikan support terkait perkembangan perbankan syariah ke depan.
2. Demi kemandirian dan secara kaffah pelaksanaan perbangkan syariah di Indonesia, maka perlu pemerintah dan Legislatif secara bersama-sama membuat peraturan perbankan syariah yang mandiri.
3. Peran BI dalam perjalanan perbankan syariah sangat besar, sehingga BI perlu membuat kebijakan-kebijakan yang lebih komprehensif dan maksimal untuk mendukung perbankan syariah. Hal ini mungkin bisa lakukan dengan menambah sumber daya manusia yang betul-betul memahami ekonomi syariah yang diharapkan mampu memberikan kontribusi yang komprehensif dan maksimal dalam menggiring laju perbankan syariah.
4. Pemerintah dan Legislatif juga dituntut untuk membuat peraturan perundang-undangan terkait dengan obligasi syariah, pasar modal syariah serta hukum perdata syariah sebagai instrument pendukung perbankan syariah.

Subjek Hukum Dan Objek Hukum

Suatu pihak yang berdasarkan hukum telah mempunyai hak, kewajiban, kekuasaan tertentu atas sesuatu tertentu.
Subjek Hukum dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu :
1. Manusia (Natuurlijk persoon)
2. Badan Hukum (Rechts persoon)
Subjek Hukum Manusia (Natuurlijk persoon)
Orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Orang bertindak sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Subjek Hukum Badan Hukum (Rechts persoon)
Suatu badan yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada kenyataan persyaratan yang telah dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum. Badan usaha ini telah digolongkan berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, namun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya harus diwakilkan melalui para pengurusnya.
Sebagai subjek hukum, vadan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu :
• Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya
• Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya
Contoh-contoh Badan Hukum :
• PT
• Yayasan
• PN
• Perjan

Objek Hukum
Segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum dimana segala hak dan kewajiban serta kekuasaan subjek hukum berkaitan didalamnya seperti benda-benda ekonomi karena benda-benda tesebut memerlukan pengorbanan seperti benda-benda non ekonomi yang tidak memerlukan pengorbanan karena dapat diperoleh secara bebas.
Objek hukum dibedakan karena :
- Bezit (kedudukan berkuasa)
- Lavering (penyerahan)
- Bezwaring (pembebanan)
- Daluwarsa (Verjaring)

Objek Dalam Badan Hukum

Badan Hukum

Definisi
Merupakan badan-badan pekumpulan yakni orang-orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum bertindak sebagai subyek hukum. Badan hukum sebagi pembawa hak dn tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Suatu perkumpulan dapat disahkan sebagai badan hukum melalui beberpa cara yaitu :
1. Didirikan dengan akta notaris.
2. Didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negara setempat.
3. Dimintakan pengesahan Anggaran Dasar (AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum dana pensiun pengesahan anggaran dasarnya dilakukan Menteri Keuangan.
4. Diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
Badan Hukum dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (Pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.

2. Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon)
Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal.

Perikatan dan Perjanjian Dalam Hukum

Perikatan adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Perikatan menurut Undang Undang terdiri atas perikatan yang lahir dari Undang Undang saja dan yang lahir dari Undang Undang karena perbuatan orang atau perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.
Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntuta dinamakan pihak berhutang atau debitur. Apabila seorang yang berhutang tidak memenuhi kewajibannya berarti dia telah melakukan wanpestasi yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
Sesuatu barang yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang
2. Melakukan suatu perbuatan
3. Tidak melakukan suatu perbuatan
Macam-Macam Perikatan
1. Perikatan bersyarat
Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu atau akan belum terjadi.
Contoh : apabila saya berjanji akan membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian. Disini dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya akan terjadi kalau saya lulus dari ujian.
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
6. Perikatan dengan penetapan hukum

Perjanjian Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua sayarat pertama dinamakan sebagai syarat subyektif karena mengenai suyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai obyeknya dari perbuatan hokum yang dilakukannya itu.
Pembatalan Suatu Perjanjian
Apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya adalah batal demi hukum.
Apabila terdapat kekurangan mengenai syarat yang subyektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh slah satu pihak.
Apabila perjanjian tersebut mengandung unsure pemaksaan, kekeliruan, dan penipuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pelaksanaan Suatu Perjanjian Adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Perjanjian di bagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu